Di Balik Penemuan Fosil Manusia Purba di Indonesia

Irine Aprillia Sukandar
4 min readJul 17, 2024

--

Sumber: https://www.kompas.com/stori/read/2021/04/08/145623479/pithecanthropus-erectus-penemuan-ciri-ciri-dan-kontroversi?page=all

Hal menarik ketika membaca artikel yang ditulis oleh Caroline Drieenhuizen dan Fenneke Sysling, “Java Man and The Politics of Natural History” (Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 177, №2/3, 2021) adalah tentang cerita di balik penemuan fosil manusia purba oleh Eugene Dubois dan Ralph von Koenigswald. Pengaruh penelitian Dubois dan Koenigswald memang masih kita kenal dan ingat sampai saat ini, tetapi ternyata di balik itu ada pula peran dari orang-orang Indonesia yang membantu proses penggalian. Selain itu, dalam artikel ini, diperlihatkan pula bahwa penggalian fosil menjadi masalah serius yang diperdebatkan oleh Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan.

Teuku Jacob, seorang ahli paleontologi Indonesia, menyebutkan bahwa penelitian atau penggalian fosil manusia purba sudah dilakukan sejak 1890-an oleh Eugene Dubois — hasil penelitiannya ditempatkan di Leiden. Kemudian, gairah penggalian muncul kembali pada tahun 1930-an oleh Geologische Dienst (Ralph von Koenigswald) — hasil penelitiannya ditempatkan di Frankfurt.

Ernst Haeckel, seorang ahli evolusi dari Jerman, pernah berkata kepada Dubois bahwa Asia-tropis kemungkinan adalah tempat kelahiran manusia. Oleh sebab itu, Dubois datang ke Hindia-Belanda dan segera bergabung ke dalam tentara sebagai petugas medis. Hal itu memungkinkan Dubois untuk melakukan pencarian, di samping menunaikan tugasnya. Pencarian pertama Dubois dilakukan di Sumatra, tetapi tidak begitu membuahkan hasil. Kemudian, ia pindah ke Jawa Tengah — tepatnya ke situs Trinil. Di sanalah Dubois menemukan tiga fosil yang menurutnya adalah bagian dari manusia-kera — atau sekarang dikenal sebagai fosil Pithecanthropus Erectus. Penggalian fosil manusia purba dilanjutkan oleh Ralph von Koenigswald pada tahun 1930-an. Koenigswald pun berhasil menemukan “tengkorak Ngandong” dan “Mojokerto child” — atau sekarang dikenal sebagai fosil Homo Erectus.

Di balik penemuan kedua peneliti tersebut, ternyata ada peran dari orang-orang Indonesia — suatu hal penting yang terlupakan dari pelajaran sejarah. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa,

“Hanya dalam konteks kolonialisme Belanda, Dubois dan von Koenigswald dapat melakukan pencarian mereka. Pemerintah kolonial Belanda memberi mereka pekerjaan, kesempatan untuk melakukan penelitian ilmiah, dan para pekerja paksa untuk melakukan pekerjaan berat”.

“Baik Dubois maupun Koenigswald, hanya dapat melakukan pekerjaan mereka berkat usaha para pekerja paksa dan juga penduduk setempat serta para sarjana yang tertarik dengan fosil Jawa.”

Dengan pengawasan dari para mantri (pengawas Pribumi), para pekerja paksa diperintahkan untuk membawa temuan-temuan kepada para peneliti Barat di kantor mereka. Tengkorak Mojokerto, misalnya, yang ditemukan di daerah pengawasan Mantri Cokrohandoyo — kemudian dibawanya tengkorak itu kepada Von Koenigswald.

Selain peran para pekerja paksa yang ditugaskan untuk membawa temuan-temuan, kita juga harus melihat peran penduduk lokal yang memberikan petunjuk tentang adanya fosil-fosil di sekitar tempat tinggalnya. Penduduk lokal di Jawa Tengah, misalnya, sangat menyadari adanya tulang-belulang berukuran besar dan berbentuk aneh yang terdapat di area persawahan mereka. Masyarakat percaya bahwa tulang-tulang tersebut (dianggap sebagai tulang nenek moyang) memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit sehingga mereka menggunakannya sebagai jimat.

Di situs Sangiran, oleh Koenigswald, para penduduk lokal dibayar setengah sampai satu sen untuk sebuah gigi biasa serta sepuluh sen untuk fragmen tengkorak. Di masa setelah kemerdekaan, penduduk Sangiran terus melanjutkan kebiasaannya itu. Bahkan, Teuku Jacob menyebutkan bahwa harga fosil di Sangiran jauh lebih tinggi daripada di situs lain karena hadirnya para kolektor lokal.

Di samping Dubois dan Koenigswald, ada pula Raden Saleh, seorang pelukis terkenal, yang menemukan beberapa fosil. Pada 1866, Raden Saleh berkunjung ke daerah Gunung Pandan — yang ia dapatkan berkat buku tulisan Raden Mas Tjondronegoro V, bupati Kudus dan Brebes. Menurut Tjondronegoro, masyarakat sekitar daerah Gunung Pandan percaya bahwa ada tulang-belulang yang tidak biasa. Mereka mengaitkannya dengan raksasa Arimba dalam cerita Mahabarata. Akhirnya, tulang-belulang tersebut dibawa Tjondronegoro dan Saleh ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perhimpunan Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia).

Artikel ini menjelaskan bahwa setelah penelitian (1895), Dubois membawa fosil penelitiannya ke Belanda. Pada tahun 1949, ketika Konferensi Meja Bundar, fosil-fosil tersebut menjadi bahan perdebatan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda — suatu hal yang jarang dibahas selama kita belajar sejarah. Tokoh Indonesia yang sangat mengangkat masalah ini — dan berperan besar bagi konstruksi sejarah Indonesia pasca-kolonial — adalah Muhammad Yamin.

Yamin sangat mengupayakan pengembalian benda-benda bersejarah kepada Indonesia serta menentang sejarah versi Belanda. Fosil-fosil Java Man (Manusia Jawa) sangat cocok dengan narasi sejarah baru tentang kebesaran Indonesia pra-kolonial. Fosil tersebut mampu menunjukkan bahwa ada bukti ilmiah tentang Jawa sebagai pulau tertua di dunia dan tempat asal manusia. Selain itu, Yamin bergargumen bahwa penemuan fosil manusia purba itu juga berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Yamin mengecam — sebagaimana yang ditulis oleh Drieenhuizen dan Sysling,

“Fosil-fosil yang ditemukan di Indonesia pada Masa Kolonial oleh para pekerja lokal kepada para peneliti Barat, kemudian dibawa ke Eropa, melambangkan sebuah imperialisme ilmiah yang menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia.”

Keengganan Belanda untuk menyerahkan benda-benda tersebut pada Perjanjian KMB (1949) dan fakta bahwa para peneliti Belanda yang terus mengeksplor Indonesia untuk mencari fosil (pada 1950-an) menguatkan argumen tentang “imperialisme” pengetahuan yang tidak berkurang.

--

--

No responses yet